Saturday, 24 January 2015

Kita Butuh Guru Teladan


Niat Guru dan Kualitas Pendidikan

Presiden Republik Indonesia, Pak Habibie, dalam sejarah hidupnya telah ditinggal mati sang ayah sejak beliau masih di dalam kandungan. Dengan tekadnya, sang ibu bersumpah di depan makan ayahnya untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Dengan bermodal kekuatan tekad dan niat yang membara Ibunda habibie berjualan kecil-kecilan sambil membuka usaha kos-kosan untuk membiayai sekolah Habibie dan saudara-saudaranya. Hasilnya sangat luar biasa mengagumkan, kita lihat bagaimana Pak Habibie menjadi ikon pemikiran dan ilmuwan modern Indonesia. Tidak hanya dihargai oleh bangsa tetapi juga oleh dunia. Teori habibie, faktor habibie dan metode habibie dalam dunia konstruksi pesawat telah mengantar beliau sebagai insan yang pemikirannya sangat bermanfaat bagi umat manusia.


Pelajaran yang dapat kita tarik dari sejarah hidup Pak Habibie adalah bagaimana niat dan kesungguhan orang tua ternyata sangat berperan penting. Guru sebagai pengganti orang tua di sekolah tentunya juga demikian. Kita dapat hayati bagaimana kesadaran ibunda habibie mengenai pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya mengantar beliau untuk berjuang menyekolahkan mereka hingga jenjang pendidikan tinggi. Harapan guru pada anak-anak didiknya serta tekad mereka untuk benar-benar mengarahkan pada siswa menuju cahaya ilmu sangat penting, selain niat si anak sendiri.

Orang tua atau guru yang memiliki semangat tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan tentu akan menginspirasi dan menularkan semangat tersebut ke anak-anak mereka. Teori Albert Bandura mengenai pengajaran moral dan perilaku melalui modeling (percontohan) sesuai untuk fenomena yang kita bahas ini. Bandura menegaskan bahwa tanpa suatu metode yang rumit sekalipun, artinya secara alami, berbagai perilaku ataupun sikap orang tua dan guru akan ditiru oleh anak-anak mereka.

Penghargaan guru atau orang tua yang besar terhadap pendidikan dalam arti yang sebenarnya, bukan hanya untuk memperoleh ijazah akan membekas kuat di sanubari anak. Hal inilah yang tampaknya menjadi modal dasar para guru klasik mengajarkan pengetahuan dan karakter. Mereka belum mengenal berbagai teknik ataupun media pembelajaran canggih seperti saat ini. Tapi mereka memiliki tekad dan filosofi yang berakar kuat di hatinya untuk mengajar. Dan itu melebihi media secanggih apapun di dalam proses pengajaran.

Sayangnya jika kita mau jujur dengan kondisi saat ini, telah banyak guru atau orang tua yang tidak menghargai pendidikan secara benar. Sekolah dihargai sebatas sebagai pencetak ijazah. Ilmu pengetahuan atau karakter anak akhirnya kurang benar-benar menjadi prioritas. Apalagi jika untuk menjadi guru saja sudah menggunakan cara-cara yang tidak benar, tentu kita tahu apa motif mereka sebagai guru kelak. 

Permasalahan pendidikan ini seiring dengan merajalelanya korupsi di masyarakat. Pemerintahan dan masyarakat yang korup juga berimbas pada pendidikan yang nantinya juga menghasilkan mental-mental korup. Untuk memperbaiki hal ini tidaklah cukup kiranya hanya melalui perbaikan kurikulum, pelatihan atau seminar. Perlu langkah-langkah intensif untuk membenahi paradigma para pengajar ataupun orang tua siswa. Dan ini harus dimulai dari pemerintah sendiri. 

Teringat akan status seorang Dosen UNESA, Dr. Erman, bahwa profesi guru saat ini adalah profesi yang paling sulit. Kenapa? karena sulit sekali untuk mencari figur karakter yang dapat dijadikan contoh bagi para siswa. Secara individual ataupun kolektif mari kita coba perbaiki kerumitan ini melalui perbaikan niat dan ketulusan hati untuk mengabdi dan belajar. Semoga Allah meridhai.

(Habibi Bk / Sumenep, Januari 2015)