Thursday, 12 February 2015

Jiwa Evaluasi


Visi Sekolah yang Terlupakan

Sekolah sebagai sebuah bangunan yang menaungi proses pembelajaran tegak dimana-mana. Wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah serta syarat mutlak pendidikan formal bagi setiap profesi membuat fungsi sekolah menjadi sedemikian penting. Di sekolah juga terjadi transfer kebenaran dan norma-norma penyokong ketegaran sebuah bangsa. Guru menjadi tokoh penentu keberhasilan sekolah. Kesadaran dan niat guru sebagai aspek internal berpadu dengan kesejahteraan, sarana-prasarana, kurikulum dan akses media informasi sebagai faktor-faktor yang akan mengantarkan siswa menuju proses belajar yang berbasis kompetensi.

Udara yang tak terlihat seringkali kita lupakan fungsi dan nikmatnya dalam kehidupan. Di antara beberapa aspek yang mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan di sekolah, visi sekolah itu sendiri seringkali terabaikan dan hanya menjadi penghias dinding sekolah atau dokumen administratif. Sekilas, kita akan membahas aspek tersebut dalam tulisan ini.

Layaknya guru dengan niat dan tujuan hidupnya, yang menentukan bagaimana kualitas kepengajarannya. Visi sekolah adalah perwuju dan dari jiwa dan tujuan eksistensi lembaga tersebut. Tanpa visi yang jelas maka sekolah hanya akan menjadi suatu bangunan fisik tanpa suatu dinamika organik yang menunjukkan ciri kemanusiaan. Berbagai proses yang berlangsung seperti sebuah mesin. Sekolah ibaratnya hanya menjadi robot. Produk dari sebuah mesin tentu tidak jauh dari pembuatnya, yaitu mati dan tidak memiliki kesadaran. Tentu saja masih akan dapat kita temukan pencilan-pencilan, dimana satu di antara ratusan siswa memiliki kesadarannya sendiri yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman pribadi. Namun yang jelas itu tidak lahir karena suatu proses yang disadari oleh sekolah. Atau juga seorang guru yang idealis dapat memiliki visi yang mengagumkan di tengah kehidupan sekolah yang materialis. Nmaun dampaknya tentu tidak dapat begitu banyak diharapkan.

Setiap sekolah secara administratif diwajibkan untuk memiliki visi, dan oleh karenanya secara administrative setiap sekolah memang memiliki visi dan misi yang lengkap dan ideal. Namun substansi visi adalah di dalam semangat dan pikiran orang-orang yang menghuni sekolah, bukan hanya di dokumen atau papan nama sekolah. Selama inti dari visi tersebut tidak diresapi dan sepenuh hati diperjuangkan perwujudannya maka sebenarnya visi tersebut tidak pernah ada. Visi harus hidup untuk menjadi ada. Namun bagaimana ia akan hidup kalau kenal dan tahu saja tidak. Coba saja anda tanyakan apa visi sebuah sekolah pada orang-orang di dalamnya, maka akan anda dapatkan fenomena miris yang membuktikan kebenaran tulisan ini.

Tugas utama pimpinan sekolah adalah mengenalkan dan mentransfer visi sekolah ke dalam semangat dan pikiran para penghuni sekolah, mulai dari struktur sekolah, para guru, siswa hingga bahkan para tukang kebun sesuai dengan level berpikir masing-masing. Visi sekolah akan menjadi pemersatu semua elemen yang bergerak dengan keahlian, kemampuan berpikir, kesenangan dan bahkan pola kebiasaan yang berbeda. Kesadaran akan visi yang sama akan mengarahkan proses pembelajaran di sekolah menjadi kesatuan yang saling melengkapi. Ibaratnya organisasi organ-organ tumbuhan yang berpadu melakukan fotosintesis hingga menghasilkan buah yang bermanfaat bagi seluruh kehidupan.

Visi sekolah sangatlah penting. Namun lebih banyak kita melupakannya. Akibatnya sekolah hanya menjadi mesin yang melakukan berbagai rutinitas berulang-ulang setiap hari tanpa sebuah perubahan yang sadar dan terencana. Mungkin tidak semua sekolah demikian, namun dari sekian puluh tahun menjalani profesi sebagai pendidik, saya melihat sebagian besar bangunan sekolah kita masih tanpa jiwa. Visi sekolah hanya menjadi pajangan dan label yang setiap hari kita temui, kita baca dan sekaligus kita abaikan makna dan nilai-nilainya.

Tentu saja harapan kita semua ini dapat berubah. Karena dari sekolah-sekolah itu kita berharap banyak akan muncul generasi yang sadar dan mengekspresikan hakikat kemanusiaannya.


Habibi Bk / Sumenep, Februari 2015