Hendak menjadi seorang guru atau pengajar yang dibutuhkan pertama kali adalah niat yang kuat. Ibarat sebuah bangunan, niat berperan layaknya pondasi. Bayangkan saja bagaimana nasib sebuah bangunan yang pondasinya keropos. Atau tanaman yang akarnya busuk. Bangunan akan mudah roboh, demikian pula dengan tanaman yang sulit untuk tumbuh berkembang sebelum akhirnya layu dan mati.
Niat bukan suatu kata atau kalimat tunggal yang membuat seseorang melakukan segalanya untuk hal tersebut. Niat dalam diri manusia bersifat jamak alias bervariasi, layaknya sebuah lukisan yang tersusun atas banyak warna. Tentu saja kita memiliki kebutuhan fisiologis, sosial, keamanan atau bahkan aktualisasi diri yang akan mewarnai niatan kita. Namun alangkah baiknya jika niatan kita untuk mengajar lebih didominasi oleh tujuan sosial atau spiritual, bukan tujuan material dan individual. Komposisi niat akan menentukan apakah kita akan dapat menikmati semua proses sebagai seorang pengajar atau tidak. Jika tujuan material lebih mendominasi saya yakin proses itu tidak akan benar-benar kita nikmati.
Kita dapat belajar dari sejarah bagaimana guru-guru besar dapat menghasilkan murid-murid berkualitas dan proses pengajarannya terus dikenang oleh generasi-generasi setelahnya. Sokrates menjadi contoh yang sangat tua dalam sejarah, tentang bagaimana ia harus mati minum racun untuk berpegang pada kebenaran yang diajarkannya. Ki Hadjar Dewantara rela dimusuhi dan dipenjarakan oleh pemerintah kolonial demi mencerdaskan pribumi yang dilarang mengenyam sekolah. Kekuatan niat menentukan seberapa besar rintangan yang dapat anda lalui sebagai seorang guru.
Dalam sebuah penelitian yang saya lakukan pada tahun 2013 mengenai upaya yang dilakukan oleh guru-guru senior di pulau Giligenting Madura untuk tetap bertahan menjalankan profesi guru selama puluhan tahun di tengah kondisi alam yang demikian ganas dan terpencil terdapat suatu temuan yang menarik. Salah seorang guru yang telah lebih dari tiga puluh tahun mengajar menyatakan bahwa ia bertahan karena suatu prinsip yaitu ilmu yang dimiliki walaupun sedikit harus diamalkan. Selain itu ia selalu menganggap para siswa sebagai anak-anaknya sendiri. Mengajar di tengah kesulitan ekonomi menjadi nikmat baginya.
Apa yang kita lihat dan rasakan ditentukan oleh bagaimana cara kita berpikit (mindset). Dan pola berpikir itu telah dibentuk melalui niat dan tentu saja proses belajar.
(Habibi Bk / Sumenep, 2014)
No comments:
Post a Comment